HUJJAH ASWAJA DALAM PROBLEMATIKA SUNNAH-BID’AH DALAM
AMALIAH
Disusun Guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah PAI
Dosen Pengampu : Ahmad Zaeni, M.Pd.I
Oleh :
UNIVERSITAS MA’ARIF
NAHDLATUL ULAMA
FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK INFORMATIKA
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas limpahan rahmat
dan karunianya baik berupa kesehatan maupun kesempatan sehingga makalah
ini dapat terselesaikan sebagai mana mestinya.
Adapaun judul yang di sajikan
yaitu”Hujjah Aswaja dalam kajian sunnah
bid’ah
” merupakan tugas yang di berikan oleh dosen
pembimbing mata kuliah guna memenuhi slah satu persyaratan akademik,dalam
standarisasi penilayan ,meskipun makalah ini telah tersusun secara mendetail
maupun ilmiawi,namun saya menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan yang ada di dalamnya,oleh karena itu kritik dan saran
dari berbagai pihak yang sifatnya konstruktif(membangun), terutama dari
teman-teman mahasiswa maupun dosen pembimbing,sangat di harapkan demi
kesempurnaan makalah ini,harapan saya muda-mudahan makalah ini dpat
memenuhi fungsinya.
05Juni 2016
Penyusun
PENDAHULUAN
I.Latar Belakang
Ahlusunnah wal jama'ah atau yang lebih
sering kita kenal dengan aswaja memang merupakan satu istilah yang mempunyai
banyak makna, sehingga banyak golongan dan faksi dalam islam yang mengklaim
dirinya sebagai golongan "ahlusunnah wal jama'ah".
Ahlusunnah wal jam'ah itu merupakan
golongan mayoritas umat Islam di dunia sampai sekarang, yang secara konsisten
mengikuti ajaran dan amalan(sunnah) Nabi Muhammad SAW serta sahabat-sahabatnya
dan membela serta memperjuangkan berlakunya ditengah-tengah kehidupan
masyarakat Islam. Untuk dapat memahami aswaja secara utuh tidak mungkin hanya
menggunakan pendekatan secara doktrinal saja namun juga melalui pendekatan
historial dan kultural. Tiga pendekatan tersebut akan membantu memahami
Ahlusunnah wal jama'ah secara utuh sebagai suatu perangkat aqidah, suatu citra
gerakan, suatu karakter sosial, dan suatu model budaya.
Dalam makalah ini kami akan membahas
Aswaja-NU, dan keadaan masyarakat pada saat ini. Ahlusunnah Wal Jama’ah yang
diikuti olah Bamon Islam yaitu NU, secara subtansi, ajaran Aswaja sangat
menekankan dan mengajarkan tentang prinsip-prinsip Tawassuth-i’tidal (keseimbangan-keadilan), tasammuh (toleran), tawazun
(moderat), dan amar ma’ruf nahi al-mungkar.
Ketika sekelompok orang mengatasnamakan Aswaja, tetapi membentuk karakter yang
ekstrim (tatharruf) dan radikal, maka
jelas ajaran itu bukan ajaran Aswaja ala Nahdhatul
Ulama (NU).
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering
menjumpai amalan-amalan yang sering diperdebatkan oleh orang sesama muslim,
yang satu mengatakan tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah, dan satu pihak
menyatakan mengikuti sunnah Rasulullah,
manakah yang sebenarnya?, apa yang menjadi dasar mereka?, dalam makalah ini
akan dibahas secara singkat tentang Aswaja ala
NU dan amalan-amalannya yang dianut.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Aswaja ala NU
2. Pengertian Madzab
3. Bid’ah
4. Memakai Sorban
5. Mantra-mantra
BAB II
Hujjah Aswaja dalam kajian sunnah bid’ah
1. Pengertian Aswaja ala NU
Istilah ahlussunnah wal jam’ah sudah
tidak asing lagi bagi kita. Seperti yang
sudah pernah kita ketahui bahwa pengertianahlussunnah wal jama’ah berasal dari
kata:
- ahlu
: golongan atau keluarga atau kelompok.
- assunnah
: segala sesuatu yang disandarkan pada nabi muhammad baik perkataan, perbuatan
maupun taqrir beliau.
- al
jama’ah: kebersamaan atau apa-apa yang sahabat sepakati.[1][1]
Dari penjabaran diatas maka pengertian ahlussunnah wal jama’ah
berarti golongan pengikut Nabi Muhammad SAW baik perkatan, perbuatan, maupun
ketetapan beliau sesuai dengan kesepakatan para sahabat.
Dalam kitab Al-Mausu'ah al-Arabiyah al-Muyassarah
sebuah eksiklopedi ringkas, memberikan definisi Ahlussunnah sebagai berikut:
"Ahlussunnah adalah mereka yanag mengikuti dengan konsisten semua jejak
langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan membelanya. Mereka mempunyai
pendapat tentang masalah agama baik yang fundmental (Ushul) maupun divisional (furu').Sebagai
pembanding Syi'ah. Diantara mereka ada yang disebut 'salaf' yakni generasi awal mulai dari sahabat, tabi'in, dan
tabi'it tabi'in dan ada juga yang disebut 'kholaf'
yaitu generasi yang datang kemudian. Diantara mereka ada yang yang toleransinya
luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara
ketat.Diantara mereka juga ada yang bersifat reformatif (mujaddidun) dan diantaranya lagi bersikap konservatif (muhafidhun).Golongan ini merupakan
mayoritas umat Islam".
Hakekat Nahdlatul
'Ulama (NU) dengan memahami arti dari kata "Nahdlatul" yang mempunyai
makna kebangkitan, maka dapat dimengerti bahwa hakikat NU adalah Nahdlatul
(kebangkitan) dan harakah (gerakan).[2][2]
Nahdlatul 'Ulama
sebagai organisasi keagamaan besar, dan mugkin terbesar dalam jumlah anggotanya
di indonesia, sejak berdirinya pada tanggal 31 Januari 1926 M, telah menyatakam
diri sebagai golongan beraliran "Ahlussunah wal jama'ah" yang dalam
aqidah mengikuti aliran Asy'ariyah-Maturidiyah
dalam syari'ah atau fiqih mengikuti
salah satu madzhab empat hanafi-hambali-syaf'i dan maliki, dan dalam tashawwuf
mengikuti Al-junaid dan Al-Ghozali.[3][3]
Kepemimpinn NU selama
ini dipercayakan kepada 'Ulama yang dipandang memiliki dimensi kepemimpinan
yang memadai, yakni dimensi kepemimpinan ilmiah, kepemimpinan sosial,
kepemimpinan spiritual, dan kepemimpinan administratif.
2. Pengertian Madzab
Madzhab dari asal kata (etimologis) berarti jalan, aliran
pendapat, ajaran, dan doktrin. Dan dalam kajian Islam, pengertian madzhab
seperti dipaparkan dalam Al-Musu'ah
al-Arabiyah al-muyassarah adalah "metode memahami ajaran-ajaran islam,
di dalam Islam ada beberapa macam madzhab, ada yang politis, utamanya adalah
khawarij, syi'ah dan Ahlusunnah. Dan ada yang teologis (kalamiyah) utamanya adalah Mu'tazilah, Asy'ariyah dan
maturidiyah.Dan ada yang fiqhiyah, utamanya adalah Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi'iyah dan Hambaliyah".
Bermadzhab pada dasarnya ialah
mengikuti ajaran atau pendapat Imam Mujtahid yang diyakini mempunyai kompetensi
(kewenangan atau kemampuan) berijtihad. Menurut
Prof. Dr. Said Ramadlon Al-Buthi, bermadzhab ialah mengikutinya orang
awam atau orang-orang yang tidak
mencapai kemampuan ijtihad, kepada pendapat atau ajaran seorang Imam mujtahid
tertentu secara tetap, atau dalam hidupnya dia berpindah dari seorang mujtahid
kepada seorang mujtahid lain.[4][4]
Pola bermadzhab akan selalu melibatkan
dua pihak, yaitu pihak yang diikuti pendapatnya (mujtahid) atau ijtihadnya dan pihak yang mengikuti pendapat atau
hasil ijtihad para mujtahid.
3. Bid’ah
Perbedaan yang terjadi dalam masyarakat
tentang masalah bi’ah sangatlah hangat sebagai bahan pembicaraaan,. Bid’ah
menurut Al-Amam Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam mendefinisikan bid’ah dalm
kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih
al-Aman.
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang
tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah”[5][5]
Sedangkan menurut al-Imam Muhyiddin Abu
Zakariyah Yahya bin Syaraf al-Nawawi mengungkapkan hal yang hampir sama bahwa
bid’ah adalah mengerjakan suatu yang baru, yang belum ada pada masa Rasulullah.
Sedangkan seorang ulama yang dikagumi oleh orang wahabi al-Imam Muhammad bin
Isma’il al-Shan’ani dalam sebuah kitabnya Subul
al-Salam Syarh Bulugh al-Maram mengatakan bid’ah menurut bahasa adalah
sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksud disini
adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Alquran
dan Sunnah.
Menurut para ulama’ bid’ah dalam ibadah
dibagi dua: yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Di antara para ulama’
yang membagi bid’ah ke dalam dua kategori ini adalah:
a.
Imam Syafi’i.
Menurut
Imam Syafi’i, bid’ah dibagi dua; bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah.Jadi
bid’ah yang mencocoki sunah adalah mahmudah, dan yang tidak mencocoki sunah
adalah madzmumah.
Bid’ah
hasanah atau mahmudah dibagi menjadi dua.Yang pertama adalah bid’ah wajib,
kedua adalah bid’ah sunah.
b.
Imam al-Baihaqi
Bid’ah
menurut Imam Baihaqi dibagi dua; bid’ah madzmumah dan ghairu madzmumah.Setiap
Bid’ah yang tidak menyalahi Alquran, Sunah, dan Ijma’ adalah bid’ah mahmudah
atau ghairu madzmumah. Sedangkan bid’ah yang tercela (madzmumah) adalah bid’ah
yang tidak memiliki dasar syar’i sama sekali.
c. Imam Nawawi
Bid’ah
menurut Imam Nawawi dibagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah qabihah.
.
Imam al-Hafidz Ibnu
Atsir
Ibnu
Atsir juga membagi Bid’ah menjadi dua; bid’ah yang terdapat petunjuk nash (teks
al-Qur’an/hadits) di dalamnya, dan bid’ah yang tidak ada petunjuk nash di
dalamnya.
Jadi
setiap bentuk bid’ah yang menyalahi kitab dan sunah adalah tercela dan harus
diingkari. Akan tetapi bid’ah yang mencocoki keumuman dalil-dalil nash, maka
masuk dalam kategoti terpuji.
Lalu
bagaimana dengan hadits
ÙƒُÙ„ُّ بٍدْعَØ©ٍ
ضَلاَÙ„َØ©ٍ
Setiap bid’ah adalah sesat.
Berikut ini adalah pendapat para ulama’:
1. Imam Nawawi
Hadits di atas adalah masuk dalam
kategori ‘am (umum) yang harus
ditakhshish (diperinci).
2. Imam al-Hafidz Ibnu Rajab
Hadits
di atas adalah dalam kategori ‘am akan tetapi yang dikehendaki adalah khash (‘am yuridu bihil khash). Artinya secara
teks hadits tersebut bersifat umum, namun dalam pemaknaannya dibutuhkan
rincian-rincian.
3 Memakai Sorban
Sorban yang sering dipakai oleh orang
laki-laki ketika ibadah seringkali diperbincangkan, sering muncul pertanyaan
dari kaum awam, tentang hukum dan manfaat memakai sorban.Penggunaan sorban yang
seringkali hanya dipakai oleh para 'Ulama sebenarnya dianjurkan. Hal ini sesuai
dengan hadits:
Abu darda' berkata: sesungguhnya Allah
memberi Rahmat dan malaikat mendoakan orang-orang yang memakai sorban pada hari
jumat. (R. Atthabrani)[6][6]
Pada prinsipnya syariat Islam telah
mewajibkan seorang muslim laki-laki untuk menutup auratnya baik saat solat,
diluar solat yang mana antara pusar sampai dengan lutut. Sedangkan memakai
pakaian yang melebihi menutupi aurot itu adalah terserah masing-masing orang
boleh memakainya atau tidak.Namun, bagi seseorang yang hendak melakukan solat
dianjurkan untuk berpakaian sesuai dengan kepantasn yang telah berlaku disuatu
daerah tertentu. Seperti halnya jika di suatu daerah tertentu biasa menggunakan
songkok, berbaju koko dan sarung maka
dianjurkan pula mengikuti traadisi tersebuat.
Hal tersebut juga selaras dengan firman
allah dalam Qs. Al-a’raf 7;31 yang artinya:
‘’hai
anak adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah , dan jangan berlebih-lebihn. Sesungguhnya allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebihan.
Dari ayat tersebut jelas sekali bahwa
saat melakukan solat hendaklah memakai pakaian yang pantaas.Adapun salah satu
pakaian yang pantas saat melakukan solat seperti memakai tutup kepala dengan
memaki sorban, atau songkok atau kopiah. Dalam kitab al- mausu’ah al- fiqiyah
dikatakan juga:
’’
tidak ada perbedaan (khilaf) ulama’ atas sunnahnya menutup kepala saat solat
bagi lki-laki baik dengan soraban atau yang serupa dengan itu karena nabi
melakukan itu saat solat’’.
Jadi, menutup kepala saat solat bagi
seorang laki- laki baik berupa sorban, ataupun yang sama fungsinya seperti
songkok, dan kopiah adalah sunah. Namun tentu saja sebagian orang ingin menutup
kepala nya saat melakukan solat yang dianggap paling pantas menurut anggapan
masyarakat mereka, artinya tidak harus sorban.
Akan tetapi sebagian orang yang
berpendapat memakai sorban itu sunnah. mungkin pendapat tersebut berdasarkan
pada atsar (perkataan sahabat) ibnu umar yang mana konon katanya beliau
mengatakan:
‘’sekali sholat dengan memakai sorban itu sama
dengan 70 kali sholat tanpa sorban. Atau berdasarkan riwyat anas:sama dengan
10000 kebaikan’’.
4 Mantra-mantra
Mantra adalah bunyi, suku kata, kata
atau sekumpulan kata-kata yang dianggap mau ‘’menciptakan perubahan’’ (
misalnya perubahan spiritual).[7][7] Pada dasarnya jenis dan kegunan mantra
berbeeda-beda tergantung pada filsafat yang terkait dengan mantra tersebut.
Dalam kamus besar bahasaa indonesia ,
mantra diartikan sebagi susunan kata yang berunsur puisi ( seperti rima dan
irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun
atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.[8][8]
Menurut ulama, ruqyah atau mantra atau jampi
Islami (syar'i) harus memenuhi 3 (tiga) syarat:
a.
Bacaan yang dibaca
berasal dari Alquran atau dari hadits.
b.
Harus memakai bahasa
Arab, kecuali bagi yang tidak bisa
c.
Harus meyakini bahwa
ruqyah tidak ada pengaruhnya tanpa kuasa Allah.
Ruqyah berfungsi sebagai tawassul (perantara) untuk meminta
sesuatu kepada Allah.Sedangkan tawassul sendiri hukumnya dibolehkan dalam arti
bertawassul hanya kepada Allah tidak dengan selain Allah. Para ulama’
bersepakat bahwa hukum ruqyah itu boleh, hal ini sesuai dengan beberapa dalil
yaitu:
Sahih riwayat Muslim:
لابأسبالرقىمالمتكنشركاً
Artinya: ‘’Ruqyah itu boleh asal tidak mengandung syirik’’.
Jadi, dari pemaparan diatas jelas
sekali bahwa hukum rukyah bisa diharamkan dan juga bisa diperbolehkan tergantung
dari tujuan orang tersebut. Jika tujuannya untuk bertawashul kepada Allah, maka
ruqyah diperbolehkan, akan tetapi jika mengandung kemusyrikan maka ruqyah
adalah haram.
BAB III
Penjelasan Dari Hujjah Aswaja dalam kajian sunnah bid’ah
. Nahdlatul 'Ulama sebagai organisasi
keagamaan besar, dan mugkin terbesar dalam jumlah anggotanya di indonesia,
sejak berdirinya pada tanggal 31 Januari 1926 M, telah menyatakam diri sebagai
golongan beraliran "Ahlussunah wal jama'ah" yang dalam aqidah
mengikuti aliran Asy'ariyah-Maturidiyah
dalam syari'ah atau fiqih mengikuti
salah satu madzhab empat hanafi-hambali-syaf'i dan maliki, dan dalam tashawwuf
mengikuti Al-junaid dan Al-Ghozali
. Madzhab dari asal kata (etimologis) berarti jalan, aliran
pendapat, ajaran, dan doktrin. Dan dalam kajian Islam, pengertian madzhab
seperti dipaparkan dalam Al-Musu'ah
al-Arabiyah al-muyassarah adalah "metode memahami ajaran-ajaran islam,
di dalam Islam ada beberapa macam madzhab, ada yang politis, utamanya adalah
khawarij, syi'ah dan Ahlusunnah. Dan ada yang teologis (kalamiyah) utamanya adalah Mu'tazilah, Asy'ariyah dan
maturidiyah.Dan ada yang fiqhiyah, utamanya adalah Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi'iyah dan Hambaliyah".
Bid’ah adalah mengerjakan suatu yang
baru, yang belum ada pada masa Rasulullah
. Pada prinsipnya syariat Islam telah
mewajibkan seorang muslim laki-laki untuk menutup auratnya baik saat solat,
diluar shalat yang mana antara pusar sampai dengan lutut. Sedangkan memakai
pakaian yang melebihi menutupi aurot itu adalah terserah masing-masing orang
boleh memakainya atau tidak.
Mantra adalah bunyi, suku kata, kata
atau sekumpulan kata-kata yang dianggap mau ‘’menciptakan perubahan’’ (
misalnya perubahan spiritual).[9][9] Pada dasarnya jenis dan kegunan mantra
berbeeda-beda tergantung pada filsafat yang terkait dengan mantra tersebut.
BAB IV
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang kami susun ini, semoga dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya
dan pembaca umumnya, kami mohon maaf bila makalah kami ini memiliki banyak
kekurangan, karena kami masih dalam taraf belajar, oleh sebab itu kami tunggu
kritik dan saran yang membangun dari para teman-taman sekalian, untuk
kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdusshomad
Muhyiddin, 2008, Hujjah NU
Akidah-Amaliah-Tradisi, Surabaya: Khalista.
Muchtar
Masyhudi, dkk, 2007, Aswaja An-Nahdliyah,
Surabaya: Khalista.
Zaki
Hadziq Moh, 2009, Konsep Aswaja Ala Mbah
Hasyim Asy’ari, Jombang: Maktabah Pustaka Warisan Islam.
Lim
Press Lirboyo, 2007, Gerbang Pesantren
Pengantar Memahami Ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah, Kediri: Bidang Penelitian
dan Pengembangan Lembaga Ittihadul Mubalighin Pon Pes Lirboyo.
Abbas
Siradjuddin, 1969, I’itiqad Ahlussunnah
wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah.
Royyan
Danial Muhammad, 2011, Membedah Intisari
Ahlissunnah wal Jama’ah, Jogjakarta: Menara Kudus.
Hidayat
Muhammad Nur, 2012, Benteng Ahlussunah
wal Jama’ah, Kediri: Nasyrul ‘ilmi.
Isma’il
Ibnu, 2011, Islam Tradisi, Kediri:
Tetes Publisking Tempias Tinta Emas.
Idrus
Ramli Muhammad, 2010, Membedah Bid’ah dan
Tradisi, Surabaya: Khalista.